REFLEKSI TENTANG MAKNA PENYELARAS

              Refleksi ini dibuat penulis terinspirasi dari salah satu topik yang diperbincangkan pada Kuliah Filsafat Pendidikan pada hari selasa, 16 Oktober 2018. Seperti biasanya sebelum memulaikan perkuliahan, Prof. Marsigit sebagai dosen pengampu mata kuliah mengajak kami mengawali pertemuan tersebut dengan doa menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Kemudian dilanjutkan dengan tes singkat. Setelah tes/ujian singkat dilakukan,  maka kami mahasiswa disuruh secara masing-masing untuk membuat pertanyaan yang ditulis pada kertas dan kemudian dikumpulkan. Pertanyaan-pertanyaan ini selanjutnya akan dijawab oleh Prof. Marsigit dalam pertemuan tersebut.

              Di bagian tertentu pada pertemuan/kuliah itu, Prof Marsigit membicarakan mengenai apa yang disebut sebagai “penyelaras”. Beliau menyanyikan sebagian lirik dari sebuah lagu, kemudian meneruskannya dengan mengatakan bahwa dalam lagu-lagu berbahasa Jawa biasanya terdapat “senggahan”/”penanti waktu”, meski harus diakui bahwa hal itu sebenarnya memang bersifat umum dan berlaku pada lagu-lagu yang diciptakan bukan hanya pada lagu-lagu berbahasa Jawa. “Senggahan” dan atau “penanti waktu” menurut Prof Marsigit, meski tidak memiliki makna secara bahasa dalam sebuah lagu, tetapi memberi makna secara etik dan estetika. Saya kemudian berpikir, bahwa apa pun suatu realitas di dunia ini dengan sifat-sifat yang melekat pada realitas itu, ternyata memiliki makna pada sudut pandang tertentu. Maknanya tergantung pada sudut pandangnya masing-masing. Meski dari perspektif bahasa tidak bermakna, ternyata dari perspektif estetika, etika, dan sebagainya memberi makna yang berarti. Orang yang memiliki jiwa seni, ternyata mampu menilai atau memberi makna pada sesuatu yang terkandung dibalik sebuah kata atau beberapa kata dalam syair atau pun lagu yang tidak memiliki makna secara bahasa. Hal lain yang kemudian terpikirkan, bahwa ternyata sehebat-hebatnya bahasa, tidak sepenuhnya mampu memberi definisi makna pada setiap lafal atau pengucapan kata.

              Prof Marsigit pun melanjutkan dengan mengatakan bahwa “antara makna yang satu dengan makna yang lain perlu satu kata yang disebut “Penyelaras”.  “Batu” pun dapat dikatakan sebagai penyelaras. Antara batu dengan pasir disekitarnya, bagian terluar dari pada batu dapat menjadi penyelaras antara batu itu dengan pasir. Antara roda dengan body dari mobil terdapat shockbreaker sebagai penyelarasnya.

              Makna penyelaras sendiri dapat diartikan sebagai sesuatu yang berfungsi untuk menyelaraskan atau menyesuaikan, menyeimbangkan, mengharmoniskan, mencocokkan. Sehingga terbentuklah, tersusunlah, tersinergikan, terhubungkan, menjadi harmonis, menjadi seimbang, menjadi sesuai, antara satu hal dengan yang lain, antara realitas yang satu dengan realitas yang lain.

              Pendidikan pun dapat dikatakan sebagai “penyelaras” yaitu penyelaras antara suatu keadaan ketidaktahuan, kebodohan, ketimpangan, kemiskinan, ketertinggalan, keterpurukan, penjajahan pikiran, dengan keadaan berilmu-pengetahuan, kepandaian, keseimbangan, kemajuan, keunggulan, berwawasan luas, dan sebagainya. Maka penyelaras sangatlah penting dalam kehidupan ini. Tanpa adanya penyelaras dalam kehidupan ini, maka tiadalah yang adil adanya. Prof. Marsigit mengatakan “sebenar-benar hidup ini adalah penyelaras”.

              Manusia dapat menjadi penyelaras bagi dirinya sendiri: sebagai penyelaras antara kehidupan fisik dan kehidupan rohaninya. Manusia dapat menjadi penyelaras bagi lingkungan alam sekitarnya. Bagaimana manusia dapat dikatakan sebagai penyelaras bagi alam atau lingkungan hidup sekitarnya?. Kesadaran dan sikap tanggung jawab untuk menjaga, memelihara, mengelola alam anugerah sang pencipta secara bijaksana, itulah makna manusia sebagai penyelaras bagi alam. Bahkan manusia dikatakan sebagai penyelaras bagi/antar manusia yang lain, manakala ia menjadi pendamai bagi mereka yang sedang berkonflik, menjadi pemberi solusi bagi mereka yang bermasalah, menjadi bermanfaat bagi mereka yang membutuhkan. Pikiran manusia pun dapat menjadi penyelaras antara keinginan dan tindakannya. Namun kiranya pengambilan keputusan tertinggi mengenai kebenaran adalah di dalam hati nurani yang meletakkan dasar sandarannya pada spiritualitas yang sifatnya absolut. Tampaknya, realitas baik dari perspektif materialism maupun idealism memiliki makna sebagai penyelaras dalam kehidupan.

              Lantas, yang menjadi pertanyaan adalah, jika keselarasan itu dirancangkan oleh Sang Penyelaras yaitu Tuhan Maha Kuasa, bagaimanakah manusia mampu menilai keselarasan rancangan Sang Penyelaras? Dapatkah serta mampukah manusia menerima dan menjalani rancangan keselarasan dari Sang Penyelaras?. Pergerakan demi pergerakan lempeng bumi dan peristiwa-peristiwa geologi yang terjadi akhir-akhir ini, apakah suatu rancangan keselarasan dari Sang Penyelaras?. Mampukah manusia menerimanya? Mampukah manusia mengatasinya?. Keselarasan Sang Penyelaras kehidupan tak mampu diselami oleh akal pikiran manusia yang terbatas. Rancangan keselarasan Sang Penyelaras bersifat transenden. Hanyalah pada doa-doa kita, ketaatan kita pada Firman-Nya, berserah sungguh dan bersyukur kepada-Nya, menjadi penyelaras antara hidup di dunia fana ini dengan kehidupan di akhirat nanti.