RASIONALISME SEKULARIS, MATERIALISME DAN SPIRITUALITAS SEMU:
Sebuah Refleksi Pada Sebagian Lintasan Timeline Kehidupan
(Direfleksikan oleh: Jefri Mailool, Mahasiswa S3 Penelitian dan Evaluasi Pendidikan)

              Refleksi ini dibuat berdasarkan ceramah yang disampaikan oleh Prof. Dr. Marsigit, MA Tanggal 23 Oktober 2018 pada Mata Kuliah Filsafat Pendidikan serta dirangkai dengan hasil perenungan saya terhadap kehidupan di zaman ini.
              Dalam ceramah tersebut, Prof. Marsigit menjelaskan tentang timeline kehidupan. Timeline membentang dari ujung sebelah kiri sampai ujung sebelah kanan (digambarkan dengan sebuah garis horizontal). Timeline ini membatasi antara bagian yang diatas dengan bagian yang dibawah, memberi makna tentang dua kutub pandangan yang berbeda terjadi dalam suatu timeline. Namun kiranya yang menjadi pertanyaan awal tentang timeline ini adalah mengenai dimanakah “sesungguhnya” batas ujung sebelah kiri bermula dan dimanakah tepatnya berakhirnya ujung sebelah kanan dari timeline kehidupan ini?. Sebuah pertanyaan yang menurut saya sulit dijawab, karena yang hidup didunia ini pun tidak mengetahui dengan jelas dan pasti apa yang dialaminya diawal kehidupannya dan tidak pernah tahu kapan berakhir kehidupannya, apalagi memahami secara komprehensif tentang garis waktu kehidupan dunia ini. Hanyalah sandaran kepada keyakinan dan kepercayaan yang digunakan  untuk mengakui keberadaan dunia ini; menyangkut awal dan berakhirnya.
              Terdapat banyak pemikiran/cara pandang orang dalam memandang dunia ini, dimana setiap paham atau pandangannya dapat menunjukkan keberadaan posisinya pada timeline kehidupan, termasuk paham rasionalis (rasionalism) dan materialis (materialism) yang kemudian akan direfleksikan pada tulisan ini. Selain itu, saya juga sedikit memberikan pandangan berdasarkan fenomena yang diamati, dinilai, dialami dan dirasakan dalam kehidupan zaman sekarang yang menurut saya terlihat adanya kecenderungan pada spiritualitas yang semu.
              Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, menyebabkan perubahan yang luar biasa terjadi dalam kehidupan manusia di berbagai aspek. Perkembangan ini membawa dampak positif tetapi juga dampak negatif bagi manusia, inilah sebenar-benar hidup adalah kontradiksi. Kemajuan teknologi memungkinkan manusia dapat saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya dalam suatu jaringan komunikasi canggih yang secara real time dapat mempertemukan manusia diberbagai tempat yang berbeda dan pada jarak yang jauh sekalipun.
              Manusia memang memiliki potensi untuk mengembangkan pengetahuannya karena adanya rasio yang menyertai keberadaannya. Dalam perkembangan filsafat khususnya pada era filsafat modern barat, muncul kaum rasionalis yang berpandangan bahwa sumber pengetahuan satu-satunya yang benar adalah rasio atau akal budi. Kebenaran umum yang diyakini kaum rasionalis dihasilkan dari intuisi rasional, itulah yang dikenal dengan istilah kebenaran apriori yang kemudian berbeda atau berlawanan dengan kebenaran kaum empiris (empirisme) yang berpandangan bahwa kebenaran-kebenaran dihasilkan melalui observasi, dan hal ini diistilahkan dengan kebenaran aposteriori. Tampaknya sampai pada titik ini, yaitu di zaman ini, rasionalisme seakan mengguncang dunia dengan berbagai penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasarkan dan dihasilkan dari proses olah rasio. Rasionalisme berhasil mengungkap bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Dari Rahim kekuasaan akal tersebut, kemudian orang berupaya melahirkan dunia baru yang lebih utuh, dipimpin dan dikendalikan oleh akal sehat manusia. Inilah gaya berpikir yang disematkan sebagai mazab rasionalisme.
              Rasionalisme mengembangkan metode baru bagi ilmu pengetahuan. Metode yang mengacu pada otoritas tradisional diganti dengan metode baru yang terdiri dari dua unsur, yaitu pengamatan dan eksperimen, dan deduksi dengan menurut cara ilmu ukur (geometri). Bergeraknya benda-benda alamiah dan perubahan zat kimia jika dicampur akan menimbulkan perubahan, misalnya, dilakukan pengamatan dan eksperimen yang kemudian ditarik kesimpulan dengan metode induksi. Hal ini menunjukkan bahwa unsur teologis diabaikan dan lebih memberi perhatian pada karya manusianya, karena dalam gerak kosmik alam dianggap tidak ada kekuatan batiniah ataupun gaib, melainkan alam dikuasai oleh hukum yang bersifat pasti dan objektif. Oleh karenanya jelaslah, rasionalisme merupakan salah satu diantara pandangan-pandangan lainnya yang menyebabkan terjadinya peralihan dari teosentris kepada antroposentris; kepercayaan kepada kekuatan akal budi manusia merupakan ciri utama dan kekuatan dari mazhab ini. Rasionalisme begitu kental dengan nilai sekularisasi, yaitu pendangan dasar dan sikap hidup yang sangat tegas dalam membedakan antara Tuhan dan dunia, dan menganggap dunia sebagai sesuatu yang lebih diunggulkan (dunia sebagai sesuatu yang dunia saja). Maka, paham rasionalis sekularis yang demikian, akan mengajarkan orang berpendapat bahwa negara tidak bertugas “secara khusus” untuk tunduk pada agama ataupun terhadap pandangan agama.
              Kembali lagi pada masalah keberadaan rasio dalam pribadi manusia. Dengan rasio ini, manusia mampu berpikir dan bertindak, menciptakan kebudayaan lewat pemikiran-pemikirannya termasuk kebudayaan materi yaitu teknologi. Teknologi dipadang sebagai suatu kebudayaan materi, berupa alat-alat yang diciptakan manusia untuk membantu pekerjaan manusia. Saya ingat, pelajaran sejarah waktu SMA dulu, khususnya membahas tentang masa pra-sejarah, ada zaman yang dinamakan zaman meramu dan mengumpulkan makanan, ada zaman batu dan zaman perunggu dimana manusia mulai belajar menciptakan alat dari material batu maupun logam yang digunakan untuk semata-mata membantu manusia dalam pekerjaan dan kelangsungan hidupnya. Disini jelas nyata bahwa manusia memiliki potensi untuk mengembangkan pengetahuan dan dengan pengetahuan mampu menciptakan teknologi yang dari pandangan antropologi dipandang sebagai kebudayaan materi.
              Lantas kemudian, apa hubungannya dengan materislisme dan spiritualitas semu?. Tampaknya sampai pada titik ini, manusia berada pada zaman dimana penciptaan teknologi memengaruhi hampir seluruh aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan spiritualnya.
              Materialisme merupakan pandangan filsafat yang menganggap bahwa dunia disusun sepenuhnya oleh materi. Materialisme dikontradiksikan dengan dualisme dan mengandung relasi yang sulit dengan realisme mengenai universalia  dan entitas abstrak lainnya. Oleh karenanya dalam konteks ini,  materialisme tidak berkaitan dengan hasrat atau keinginan berlebih akan barang dan kekayaan yang oleh orang-oang kebanyakan, istilah ini juga digunakan sehingga membiaskan definisi filosofisnya.
              Selanjutnya, mari kita masuk pada area pemikiran Karl Marx tentang materialisme-nya. Menurut filsafat materialisme Karl Marx, satu-satunya yang nyata dalam kehidupan masyarakat adalah adanya masyarakat. Kesadaran masyarakat berupa ide, teori, maupun pandangan hanya mewujudkan suatu gambar cermin dari apa yang nyata. Oleh karenanya, jika ingin mengerti daya pendorong yang ada dalam kehidupan masyarakat, kita jangan berpangkal pada ide atau teori, karena itu hanyalah gambaran semu, hanyalah benang tipis atas ideologi dari hal yang nyata. Manusia harus mencari landasan material kehidupan masyarakat yaitu dengan cara memproduksi barang-barang material. Sampai pada titik ini, jelas dipahami filsafat Marx bahwa materi adalah segalanya, dengan sebuah ungkapan singkat “aku bekerja, maka aku ada”.
              Filsafat Karl Marx adalah materialisme dialektik. Filsafat ini berasumsi bahwa benda merupakan sesuatu kenyataan pokok yang selalu terjadi dalam proses perubahan dan pertentangan di dalamnya. Materialisme dialektik selalu bertitik tolak dari materi sebagai satu-satunya kenyataan. Marx berkesimpulan bahwa sebelum orang dapat mencapai kebahagiaan yang nyata, agama haruslah ditiadakan karena agama menjadi kebahagiaan semu dari orang-orang tertindas. Namun karena agama adalah produk dari kondisi sosial, maka agama tidak dapat ditiadakan, kecuali dengan meniadakan bentuk kondisi sosial tersebut. Menurut Marx, agama adalah hasil proyeksi keinginan manusia. Agama tidak mempunyai masa depan. Agama bukanlah kecenderungan naluriah manusia yang melekat, tetapi merupakan produk dari lingkungan sosial tertentu. Agama hanyalah gejala sekunder dari keterasingan manusia. Agama menjadi semacam pelarian karena realitas memaksa manusia melarikan diri. Lalu manusia hanya dapat merealisasikan diri secara semu, yaitu dalam khayalan agama karena struktur masyarakat yang nyata tidak mengizinkan manusia merealisasikan diri dengan sungguh-sungguh. Karena dalam masyarakat nyata manusia menderita, manusia lalu mengharapkan mencapai keselamatan dari surga. Apapun yang dibawa oleh agama bagi mereka yang menderita dan tertindas adalah suatu penghiburan yang semu dan hanya memberi kelegaan sementara. Agama tidak menghasilkan solusi yang nyata. Agama mengajak orang berpasrah dengan keadaan daripada mengusahakan yang dapat memperbaiki kondisi hidup. Dalam hal ini, agama cenderung mengabaikan usaha kongkret manusiawi untuk memperjuangkan taraf hidupnya lewat barang-barang duniawi. Inilah filsafat materialisme Karl Marx.
              Kehidupan spiritual di zaman ini seolah berdampingan dengan unsur-unsur materialisme dialektik dan rasionalis sekularis. Seperti dibungkuskan dan dipaketkan dalam sebuah wadah pencitraan demi keuntungan dan kepentingan pribadi. Sebagian manusia zaman ini, membingkai sifat materialis akutnya dengan perhiasan rohani untuk mengelabui pandangan dan penilaian lingkungan sekitarnya supaya memancarkan citra diri seolah bagian dari sinar kesucian dan kesalehan. Inilah kemudian yang saya katakan sebagai spiritualitas semu. Tidaklah etis untuk menjustifikasikan bahwa seluruh dunia sekarang ini lebih cenderung materialisme dilektik dan rasionalis sekularis. Namun setidaknya, terdapat kecenderungan pada sifat tersebut. Dominan atau tidak dominan, itu masalah kuantitasnya.
              Sebagai penutup dari refleksi ini, dimanakah ujung perhentian timeline dari kehidupan ini?. Tidaklah satu pun yang mengetahui batas garis waktu ini berhenti. Perhentian itu sakral dan transenden. Baik aku maupun engkau, tidaklah berpengetahuan dalam hal ini. Hanyalah Dia “Sang Empunya Kehidupan”, yang disebut oleh kaum spiritual sejati sebagai “Tuhan yang Maha Kuasa” yang mengetahuinya.